JAKARTA,KORANRAKYAT.COM,Dirjend Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Asep Nana Mulyana. Dalam persidangan, Asep mengatakan bahwa pada prinsipnya suami istri yang telah bercerai secara hukum masih diberikan hak dan tanggung jawab terhadap anak akibat perceraian sehingga kedua belah pihak harus tetap memiliki itikad baik demi perkembangan anak.Ujar Asep Mulyana dalam persidangan Rabu (6/3) 2024.
“Itikad baik dalam perilaku hukum sangat penting dilakukan yang dalam implementasinya para pihak yang bersengketa harus tetap melaksanakan putusan pengadilan dengan baik dan dalam hal ini jika ingin melakukan perbuatan atau tindakan berkaitan dengan anak dimana orang tua sudah cerai. Tindakan terhadap anak yang diasuh berdasarkan putusan pengadilan seharusnya dilaksanakan dengan suatu kesepakatan-kesepakatan untuk menghindari dampak yang negatif terhadap anak. Dimana jika anak secara hukum telah menjadi hak asuh ibunya, maka ayah sebagai mantan suami harus bersepakat terlebih dahulu dengan mantan istri sebagai ibu anak,” terangnya
Namun, sambung Asep, jika ayah sebagai mantan suami melakukan tindakan-tindakan terhadap anak tanpa adanya kesepakatan terhadap mantan istri sebagai hak asuh anak, dapat berdampak yang tidak baik. Implikasi terhadap tindakan ayah terhadap anak dalam kondisi perceraian yang tidak dilandasi atas dasar itikad baik dalam hal ini tidak adanya kesepakatan atau bahkan dengan sengaja mengambil paksa atau dengan cara lain atau berniat tidak baik merupakan perbuatan melawan hukum, dalam keadaan yang demikian Ibu sebagai hak asuh dapat melaporkan kepada pihak yang berwajib (Polisi) sebagai rasa tanggung jawab terhadap anak
Diungkapkan juga permohonan dengan Nomor 140/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh lima ibu, yakni Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani. Kelima Pemohon merupakan para ibu yang sedang memperjuangkan hak asuh anak. Para Pemohon menguji frasa “Barangsiapa” dalam Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1946 (KUHP 1946).Selengkapnya Pasal 330 ayat (1) KUHP menyatakan, “Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.
Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (2/11/2023), kuasa Pemohon, Sisca Siagian selaku kuasa hukum mengatakan para Pemohon seluruhnya memiliki kesamaan, yakni setelah bercerai dengan suaminya, memiliki hak asuh anak. Namun, saat ini tidak mendapat hak tersebut karena mantan suaminya mengambil anak mereka secara paksa. Misalnya yang dialami Aelyn Halim. Ia mengaku tidak mengetahui di mana putrinya yang bernama Arthalia Gabrielle itu berada, karena telah disembunyikan oleh mantan suaminya. Peristiwa ini bermula pada 15 Agustus 2020, pada saat Arthalia berusia 2 tahun 8 bulan. Mantan suami Aelyn yang juga ayah kandung Arthalia itu, mengambil Arthalia saat Aelyn sedang beraktivitas di luar rumah.Selanjutnya Aelyn melaporkan peristiwa tersebut ke pihak kepolisian. Namun, laporan Aelyn tidak diterima dengan alasan yang membawa kabur adalah ayah kandungnya. Disinilah permasalahannya padahal Aelyn adalah pemegang hak asuh berkekuatan hukum tetap oleh pengadilan.
Dalam kasus ini Aelyn menegaskan bahwa banyak ibu-ibu pejuang hak asuh anak yang sudah diputus pengadilan berkekuatan hukum tetap namun anaknya diambil paksa oleh mantan suami, total kurang lebih 100 orang diseluruh pelosok Indonesia " Saya inisiatif untuk mengumpulkan semua ibu-ibu diluar sana untuk mencari keadilan, kita berjuang bersama mencari anak kandung kita dan saya kaget ternyata seperti fenomena gunung es" ujar Aelyn Halim si pemegang hak asuh anak berkekuatan hukum tetap.(as)