Jombang,Koranrakyat.com,– Kandidat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Salahuddin Wahid mengecam keras panitia muktamar yang mengintimidasi peserta soal ahlul halli wal aqdi (AHWA). Dia menuding panitia Muktamar tersebut didominasi pengurus Partai Kebangkitan Bangsa yang ingin mengintervensi NU.
Kemarahan Gus Solah tak bisa dibendung ketika banyak menerima keluhan muktamirin dalam registrasi. Mereka dipaksa menyetujui AHWA dalam pemilihan Rois Aam yang akan dilakukan pada sidang pleno pertama siang ini. "Panitia sangat tidak berakhlak," kecam Gus Solah, Minggu, 2 Agustus 2015.
Menurut Gus Solah, dalam AD/ART organisasi NU, tidak pernah ada AHWA. Yang ada hanyalah kata musyawarah yang oleh sebagian panitia diartikan sebagai AHWA. Kalaupun saat ini ada pihak yang ingin menggunakan mekanisme pemilihan AHWA, ujar Gus Solah, silakan hal itu dilakukan pada muktamar yang akan datang.
Pemaksaan panitia kepada muktamirin soal AHWA, tutur dia, sangat luar biasa. Untuk memaksakan kehendaknya, panitia bahkan bersikap diskriminasi terhadap cabang dan wilayah yang tidak mendukung AHWA. "Ini kalau panitianya orang PKB semua," katanya.
Bekas pengurus PBNU era Hasyim Muzadi, Andi Jamaro, mengatakan modus panitia soal Ahwa kepada muktamirin cukup kasar dan keji. Peserta yang hendak melakukan registrasi terlebih dulu ditanya soal kesediaan melakukan pemungutan suara AHWA. Jika bersedia, panitia akan memberikan kartu hijau yang dilengkapi barcode untuk ditukar dengan kartu peserta. Sedangkan yang menolak akan diberi kartu kosongan tanpa barcode yang tak bisa dipergunakan untuk mengakses ruang sidang pleno dan komisi. "Peserta yang menolak hanya bisa memasuki lokasi pembukaan," katanya.
Politik uang yang disebut calon Ketua Umum PBNU Salahudin Wahid alias Gus Solah terjadi dalam Muktamar NU ke 33 di Kabupaten Jombang, Jawa Timur nampaknya bukan isapan jempol. Kubu pendukung ulama dari Ponpes Tebuireng itu menyebut, kubu lawan nekat melakukan penyuapan kepada PCNU agar mendukung mekanisme ahlul halli wal aqdi (AHWA). Tak tanggung-tanggung, harga dukungan untuk setiap PCNU Rp 15-25 Juta.
"Katanya AHWA diadakan untuk menghindari money politic, nyatanya hari ini justru AHWA menjadi komoditi. Harganya Rp 15-25 juta per PCNU, siapa saja yang menyetujui AHWA ditawari uang sejumlah itu," kata pendukung Gus Solah yang juga mantan Ketua PBNU periode 1999-2010, Andi Jamaro Dulung kepada wartawan di kantor PWI Jombang, Minggu (2/8/2015).
Andi menjelaskan, penerapan mekanisme AHWA untuk memilih Rais Aam PBNU di Muktamar NU ke 33 di Kabupaten Jombang sudah didesain sejak lama oleh kubu lawan. Menurutnya, kubu lawa memaksakan berlakunya AHWA untuk muktamar sejak dalam forum pra muktamar di Lombok, Makasar, dan Medan. Buntutnya adalah saat Munas di Jakarta Juni lalu, forum ulama yang tidak berwenang membahas keorganisasian dipaksakan untuk membahas dan menetapkan AHWA sebagai mekanisme memilih Rais Aam PBNU periode 2015-2020.
"Yang mengerti tentang hal itu (AHWA) adalah para tanfidziyah. Tetapi tanfidziyah tidak diundang saat Munas di Jakarta, yang diundang hanya Rais Syuriah. Sehingga Rais Syuriah tidak mengerti soal dan menyetujui gagasan panitia," paparnya.
Skenario politik yang didesain kubu lawan, lanjut Andi tak berhenti sampai disitu. AHWA sempat dipaksakan untuk disetujui oleh para peserta Muktamar Jombang dengan cara dijadikan syarat wajib dalam pendaftaran. Lantas siapa kubu lawan yang dimaksud Andi, dan kubu mana yang diuntungkan atas berlakunya mekanisme AHWA dalam pemilihan Rais Aam PBNU?
Andi enggan menjawab pertanyaan itu secara terbuka. Diduga kubu yang dimaksud adalah calon Ketua Umum PBNU incumbent. Jauh hari sebelum Muktamar Jombang digelar, PBNU dikabarkan merilis 39 nama ulama calon anggota AHWA. Nama puluhan ulama tersebut ditetapkan sebagai kandidat calon AHWA yang bisa dipilih peserta muktamar. Peserta tidak bisa mengusulkan nama lain selain 39 ulama tersebut.
Penetapan 39 nama ulama calon anggota AHWA itu pun menurut Andi bagian dari skenario politik untuk memenangkan kubu incumbent. Pasalnya, 39 nama yang dipilih tidak mewakili suara ulama seluruh Indonesia. "Itu tidak representatif mewakili kiai seluruh Indonesia. Dan karena itu direkayasa supaya kalau terpilih 9 (anggota AHWA), maka kesepakatannya memilih salah satu kandidat Rais Aam. Karena itu teman-teman yang menolak AHWA menganggap itu tidak fair," tandasnya. (fd)